Minggu, 14 Oktober 2012

ARTIKEL PUISI

Mengapa kita suka membuat puisi, bersusah payah mengartikan puisi?  Yang begitu sulit diartikan. Mengeja tiap katanya dan merangkai kalimatnya untuk menjadi bisa mengerti.
Saya medifinisikan puisi sebagai sekumpulan kata pilihan yang dirangkai dengan mempertimbangkan keindahan larik (rima), majas (metafora), makna dan irama (bunyi). Titik beratnya pada kata-kata yang dipilih. Dimaana kata tersebut merupakan hasil dari perenungan, kotemplasi atau mungkin ide yang muncul secara tiba-tiba karena si Pembuat puisi merasa “modnya dapet“. Kata-kata yang merangkai puisi merupakan “kemasan” yang menggambarkan keadaan kehidupan si penulis dengan berbagai macam sudut pandang dan faktor-faktor yang mendorong.
Jadi, seperti pernyataan sastrawan Rusia Leo Tolstoy, bahwa ia lebih memilih menulis puisi ketimbang prosa bila hendak mengungkapkan pikiran secara sangat padat dan dengan kekuatan maksimal.
“Puisi? Karena jika kalian bisa membaca puisi, kalian bisa baca apa saja,” jawab LouAnne.
Barangkali LouAnne benar, bahwa bila kita bisa memahami puisi, maka kita akan bisa membaca apa saja (baca: kehidupan). Sebab puisi tak saja terdiri dari sekumpulan kata yang mempertimbangkan keindahan bunyi dan kiasan, tapi juga menyimpan tanda-tanda yang tidak secara langsung bisa ditangkap dan dicerna pembacanya. Maka, apabila kita terlatih membaca tanda atau kode di dalam puisi, kita pun bisa membaca setiap tanda yang kita jumpai.
Makna sebuah puisi memang sangat tergantung kapan puisi itu ditulis. Tidak saja kondisi sang penyairnya, tapi juga zamannya. Setiap membaca puisi-puisi Chairil Anwar, saya selalu menemukan  kemuraman (sekalipun di dalam puisi “Aku” yang seringkali dibacakan dengan garang) – mungkinkah  karena kehidupannya yang bohemian? Atau sajak-sajak Rendra yang menyuarakan kebebasan suara hati karena pembungkaman oleh pemerintahan orde baru yang represif, atau juga penyair Ka dalam novel Snow (Orhan Pamuk) yang puisi-puisinya selalu dipengaruhi suasana kota Kars di Istanbul yang bersalju. Dan kita pun dapat memahami, mengapa banyak penyair tua (saya tak menyebutnya: muka lama) yang lebih banyak menulis puisi-puisi “ilahiah” – yang itu memberikan petunjuk tentang suasana psikologis dan kesadaran diri sang penyairnya. Sebagaimana halnya anak muda yang lebih suka menulis puisi cinta – yang kadang justru karena cintalah mereka mendadak menjadi seorang penyair yang romantis sekaligus gombal.
Lalu, mengapa puisi? Dan mengapa hingga sekarang orang masih menulis dan membaca puisi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar