Mengapa kita suka membuat puisi, bersusah payah mengartikan puisi? Yang
begitu sulit diartikan. Mengeja tiap katanya dan merangkai kalimatnya
untuk menjadi bisa mengerti.
Saya medifinisikan puisi sebagai sekumpulan kata pilihan yang dirangkai dengan mempertimbangkan keindahan larik (rima), majas (metafora), makna dan irama (bunyi). Titik beratnya pada kata-kata yang dipilih. Dimaana kata tersebut merupakan hasil dari perenungan, kotemplasi atau mungkin ide yang muncul secara tiba-tiba karena si Pembuat puisi merasa “modnya dapet“. Kata-kata yang merangkai puisi merupakan “kemasan” yang menggambarkan keadaan kehidupan si penulis dengan berbagai macam sudut pandang dan faktor-faktor yang mendorong.
Saya medifinisikan puisi sebagai sekumpulan kata pilihan yang dirangkai dengan mempertimbangkan keindahan larik (rima), majas (metafora), makna dan irama (bunyi). Titik beratnya pada kata-kata yang dipilih. Dimaana kata tersebut merupakan hasil dari perenungan, kotemplasi atau mungkin ide yang muncul secara tiba-tiba karena si Pembuat puisi merasa “modnya dapet“. Kata-kata yang merangkai puisi merupakan “kemasan” yang menggambarkan keadaan kehidupan si penulis dengan berbagai macam sudut pandang dan faktor-faktor yang mendorong.
Jadi, seperti pernyataan sastrawan Rusia Leo Tolstoy, bahwa ia lebih
memilih menulis puisi ketimbang prosa bila hendak mengungkapkan pikiran
secara sangat padat dan dengan kekuatan maksimal.
“Puisi? Karena jika kalian bisa membaca puisi, kalian bisa baca apa saja,” jawab LouAnne.
Barangkali LouAnne benar, bahwa bila kita bisa memahami puisi, maka
kita akan bisa membaca apa saja (baca: kehidupan). Sebab puisi tak saja
terdiri dari sekumpulan kata yang mempertimbangkan keindahan bunyi dan
kiasan, tapi juga menyimpan tanda-tanda yang tidak secara langsung bisa
ditangkap dan dicerna pembacanya. Maka, apabila kita terlatih membaca
tanda atau kode di dalam puisi, kita pun bisa membaca setiap tanda yang
kita jumpai.
Makna sebuah puisi memang sangat tergantung kapan puisi itu ditulis.
Tidak saja kondisi sang penyairnya, tapi juga zamannya. Setiap membaca
puisi-puisi Chairil Anwar, saya selalu menemukan kemuraman (sekalipun
di dalam puisi “Aku” yang seringkali dibacakan dengan garang) –
mungkinkah karena kehidupannya yang bohemian? Atau sajak-sajak Rendra
yang menyuarakan kebebasan suara hati karena pembungkaman oleh
pemerintahan orde baru yang represif, atau juga penyair Ka dalam novel
Snow (Orhan Pamuk) yang puisi-puisinya selalu dipengaruhi suasana kota
Kars di Istanbul yang bersalju. Dan kita pun dapat memahami, mengapa
banyak penyair tua (saya tak menyebutnya: muka lama) yang lebih banyak
menulis puisi-puisi “ilahiah” – yang itu memberikan petunjuk tentang
suasana psikologis dan kesadaran diri sang penyairnya. Sebagaimana
halnya anak muda yang lebih suka menulis puisi cinta – yang kadang
justru karena cintalah mereka mendadak menjadi seorang penyair yang
romantis sekaligus gombal.
Lalu, mengapa puisi? Dan mengapa hingga sekarang orang masih menulis dan membaca puisi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar